Satu (part 2)


 “Sir (tuan), anda tidak diperkenankan turun dari ranjang untuk sementara waktu” dokter menghampiri Hans dan langsung memeriksa jantung dan paru – paru hans melalui teleskop. Sedangkan suster langsung menuju ke pinggir tempat tidur untuk melihat sisa cairan infus “kondisi anda saat ini belum stabil tuan, maaf anda harus lebih lama disini”. “bagaimana dok?” John melirik ke arah Hans dan dokter bergantian, ia khawatir dengan kondisi keponakannya itu. “sejauh ini semua baik – baik saja. Anda tidak perlu cemas. Hanya luka memar dan beberapa bagian yang patah yang harus dipulihkan. Saya permisi”. Dokter dan suster pun pergi dari kamar VIP itu.

      “Om, sebaiknya om pulang. Aku baik baik saja” bujuk Hans. “aku pulang jika jam besuk sudah habis. Kau tenang saja Hans. istirahatlah” John melipat beberapa pakaian yang ada di kamar. Kemudian asik dengan handphone dan laptopnya lagi. Sambil sesekali melihat Hans yang kini sedang mencoba tidur dengan menghadap ke tembok. Hans tidak tidur, ia hanya memejamkan mata setelah melihat jam yang tergantung di dinding. Jam 10 pagi. Harusnya kini ia ada disana, mengatakan hal yang selalu ingin ia katakana dari dulu. Kini semua tak mungkin, kirana pasti sudah pergi kembali ke Indonesia. Hans terus menggerutu dalam hati. Tanpa di sadar air mata jatuh membasahi pipinya mengenang gadis yang ia cintai.

ÜÜÜÜ

Bandara Soekarno-Hatta menyambut kedatangannya dengan tak ramah, hujan cukup deras membasahi bumi Indonesia yang kala itu tengah memasuki musim hujan. Angin bertiup cukup kencang, meskipun bukan badai. Kirana merapatkan mantelnya, meski tak sedingin di German tetap saja hawa dingin masuk ke tubuhnya. Anggara masuk sibuk memasukkan beberapa koper dan tas yang dibawa keluarga Wiratama ke atas kereta dorong, sedangkan papa dan mamanya berusaha menghubungi keluarga yang akan menjemput. Kirana mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Hello Indonesia, here I’m coming. Dengan seulas senyum yang dibuat setengah hati.

“Kirana, bantuin dong. Diem aja disana” Anggara memanggil Kirana dan membuyarkan fikirannya. Kirana menghampiri Anggara dan langsung membantu membawa kereta dorong menuju ke pintu keluar. “teh, nuju dimana? Muhun, ieu nembe turun ti pesawat (kak, lagi dimana? Iya, ini baru aja turun dari pesawat)” mama Kirana berbicara dalam bahasa sunda melalui handphone. “teteh atos miwarang mang Ujang, Denis, sareng Tata jemput ka bandara. Panginten teh tos kapendak sareng eneng. Sakedap atuhnya, teteh telepon heula Denisna (Kakak (perempuan) udah nyuruh mang Ujang, denis, sama Tata jemput ke bandara. Dikirain sudah ketemu sama eneng (panggilan perempuan dalam bahasa sunda). Bentar atuh ya, kakak telepon dulu Denisnya)” jawab kakak Mama atau Ua (dalam bahasa Sunda). “Muhun teh, hatur nuhun (iya kak, terimakasih). Assalamualaikum”. Dan sambungan pun terputus

“gimana ma? Ada Denis / Tata nya?” anggara dan Kirana menghampiri kedua orang tuanya. “kata Ua sih udah disuruh jemput. Mungkin, masih dijalan. Ya udah kita tunggu di luar aja yuk. Laper ga? Apa mau makan dulu?”. “Kirana sih laper ma, kalo Anggara yakin deh kenyang banget. Makan di pesawat kaya orang kelaparan” Kirana tertawa mengakhiri kata – katanya. Anggara ikut tertawa mendengar komentar sang adik. “Ya udah, kamu beli makan dulu gih, ini uangnya. Biar papa yang bawa ini” papa memberikan beberapa lembar uang kertas Indonesia kepada Kirana dan mengambil kereta dorong yang tadi dibawa Kirana. “kita tunggu di depan sana, bawa aja makanannya. Jangan makan di restoran. Takutnya a Denis sm teh Tata udah dateng, kasian nungguin” lanjut papa sambil menunjuk ke salah satu kursi panjang yang kosong. “oke” Kirana melangkah ringan sambil mencari salah satu restoran siap saji yang menyediakan burger, makanan favoritnya.

Kirana berhenti dan mengantri di kasir nomer 3. Seorang pria setinggi kakaknya berada tepat didepannya tengah asik mendengarkan lagu yang volume nya cukup keras sehingga Kirana bisa mendengar lagu aa yang sedang diputar. Radio kayanya, lagunya? Ah mana ku tahu. Tak sadar kirana mengangkat kedua bahunya, dan saat itu pula laki – laki didepannya menengok ke belakang. Berbenturan dengan kepala Kirana dan “Auw” terdengar suara yang keluar bersamaan. “Maaf maaf gue gak sengaja” laki – laki itu meneruskan kata – katanya sambil mengusap kepalanya yang masih terasa sakit. “keine Manieren, echte Schmerzen, aber es ist okay (tidak punya sopan santun, sakit sebenarnya, tapi tidak apa apa)” kirana masih mengusap kepala dan mengambil uangnya yang jatuh.

Laki – laki yang ada didepannya kaget dan bingung. Kirana baru menyadarinya dan langsung berkata “maaf, maaf. Aku juga yang salah. Maaf ya”. “Silahkan selanjutnya” suara pramusaji membuat laki – laki itu maju dan kemudian memesan pesanannya. Kirana memandang sekitar. Beda sama disana, beda. Laki – lakinya juga. Aduh, mikir apaan sih?. Kirana mengelus lembut kepalanya. Laki – laki yang ada di depannya menoleh dan kemudian memandanginya, sepertinya ia baru saja mengucapkan apa yang ada dalam hatinya.

Setelah melihat Kirana selesai membeli makanannya, laki – laki itu sengaja diam disamping kedai frencihies sambil menyesap kopi yang dipesannya. Ia memperhatikan kirana dari atas kepala hingga kaki, laki – laki itu mengamati dan berasumsi bahwa gadis ini pasti berasal dari Negara eropa. Ia membetulkan kemeja garis garis lurus yang terlihat menyamping  kemudian membetulkan kaos yang tengah dipakainya dengan tangan kanannya.

“maaf kalo gue ga sopan, tapi keliatannya lo bukan anak Indonesia. Nama gue Airlangga. Lo?” dia mengulurkan tangannya menunggu gadis yang diajaknya bicara menyambutnya.
“oh maaf. Aku kirana, dan yaa aku memang baru pulang dari luar negeri. Nice to meet you”.
“well, I guess you came from german. Aren’t you?”
“can you speak german?”
“a little bit. Anyway, pulang ke daerah mana? Jakarta?”
“Aku pulang ke bandung, almost all of my family is in there. And you?”
“aku baru pulang berlibur dari singapura dan aku tinggal di Jakarta. Cuma tinggal naik taksi pulang, dimana keluarga lo?”
“there” Kirana menunjuk salah satu kursi panjang di ruang tunggu. “see you”
“waait, can I get your number or something like that? I mean.”
“Friendster or e-mail? My email is Kirana_gutten@yahoo.com”
“oke. See you” laki – laki itu sedikit mengeraskan suaranya sambil melambaikan tangan, melihat punggung Kirana yang semakin menjauh.  Ia ingin langsung pulang dan beristirahat. Perjalanan yang melelahkan, sangat melelahkan.

Sebuah taksi berwarna biru dengan tarif yang tidak terlalu mahal terparkir, seorang supir menawarkan jasanya. Dan Adara hanya memberi sebuah tas backpack yang cukup besar dan dua kantong yang berisi oleh – oleh untuk keluarganya. Hari itu Jakarta agak lengang, Adara menempelkan wajahnya ke kaca mobil. Pikirannya kembali ke liburan yang baru saja berakhir, namun tubuhnya terlalu lela hingga tak lama Adara tertidur hingga sampai rumah.

Kirana menghampiri kedua orangtuanya yang sudah bersama Uwa dan Sepupunya. Mereka tampaknya menunggu Kirana cukup lama. Namun Kirana berjalan tanpa rasa bersalah. Ia hanya memperhatikan makanannya. Mencoba memfokuskan pikirannya pada raga yang kini berada di Indonesia. Jiwanya masih tertinggal disana, ditempat diamana ia mengikrarkan janji bersama laki – laki itu.

Suasana perjalanan menuju Bandung membuat Kirana menikmati perjalanannya dengan baik. ia menghirup banyak udara segar yang masuk melalui jendela mobil, mengeluarkan tangan kanannya dan mencoba menggapai langit. berharap semua akan baik - baik saja. Ya, akan menjadi jauh lebih baik disini bukan?.

Postingan populer dari blog ini

Dewasa itu?

Bimbang

no title ! =D