Satu (part 1)
Suasana
bandara internasional German tengah sibuk kala itu, banyak orang lalu lalang,
semua kursi tunggu penuh. Beberapa sedang mengobrol, ada yang tidur, ada yang
asik dengan handphonenya, dan ada juga yang sedang menuju Gate karena harus
naik pesawat. Minggu ini minggu natal, musim dingin yang tiba membuat hampir
setiap orang memakai baju tebal, sarung tangan, penutup telinga, bahkan ada
yang memakai baju berlapis lapis untuk mencoba menghangatkan diri mereka.
Kirana
menempelkan headphone ke telinganya, mencoba mendengarkan beberapa lagu dari MP4
nya sementara ia menunggu, menunggu seseorang yang penting baginya. Ia terus
melirik jam sambil kadang kadang berdiri. Ia mengenakan mantel coklat dan
sebuah kemeja lengan panjang hampir selutut berwarna pink diapadankan dengan
sebuah jeans serta sepatu flat shoe bergambar bunga bunga di dalam dan warna
hitam polos di luarnya.
Hari
ini keluarganya akan kembali ke Jakarta karena ayah Kirana sudah selesai masa
tugasnya di KBRI German. Sudah 15 tahun Kirana disana, kini ia akan ikut orang
tuanya menuju Indonesia, Negara kelahirannya, kebangsaannya. Sebelum ia pergi
ia harus memastikan sesuatu yang penting dalam hidupnya, namun hingga waktu
tiba orang yang ditunggu tak ada. Dia tak datang namun Kirana masih tetap ingin
menunggunya, masih berharap.
“Kirana,
ayo kita naik pesawat” papa Kirana memanggil dan membuyarkan konsentrasinya
yang masih mencari. “Ayo nak, kita bisa ketinggalan pesawat. Apa sih yang kamu
cari? Tengok kanan tengok kiri. Memangnya ada yang datang?” kini mama Kirana
yang meneruskan. “Iya pa ma, aku bentar lagi naik kok. Papa sama mama duluan
aja ya. Sini tiket aku” Kirana mengulurkan tangannya setelah berdiri
menghampiri kedua orangtuanya.“Ya udah, ini tiket kamu sama mas Anggara. Kamu
harus tunggu dia ya. Dia juga belum kembali dari toilet. Papa sama mama duluan
naik”. Ayah Kirana memberikan dua buah tiket kepada Kirana. Kirana
memperhatikan kedua orangtuanya pergi menuju Gate 5. Setelah memastikan kedua
orangtuanya sudah masuk kirana kembali memusatkan perhatiannya kembali seperti
semula.
Seseorang
berlari menuju arahnya, pria itu mengenakan kaos putih berlogo Polo yang
tertutup oleh mantel berwarna abu dipadankan dengan celana jeans abu – abu
serta sepatu sport berwarna merah hitam merk adidas. “papa sama mama mana?”
anggara berhenti didepan Kirana sambil terengah engah. Masih mencoba
mengendalikan nafasnya. “udah naik pesawat duluan. Kakak duluan aja, aku
nyusul” Kirana menoleh ke kanan dan kiri lagi setelah berbicara pada kakaknya.
“nggak
deh, nemenin ade dulu aja. Siapa tau mau kabur kaya dulu. haha” Anggara tertawa
sambil pura pura meninju adik kesayangannya itu. yang diajak bicara masih saja
asik dengan pencariannya. “masih nunggu dia? Yakin dia bakal dateng?” Anggara
mencoba mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok itu. “aku cuma pengen dia
dateng, siapa yang tau kapan aku balik kesini? Dan pasti kalau aku kesini dia
nggak bakal ada disini lagi. Dia, pasti udah pergi.” Kirana terdiam sesaat
kemudian melirik jam tangannya dan berkata “mungkin bener kak, dia nggak bakal
dateng. Yuk kita naik pesawat” Kirana mengambil tas berwarna krem merek
terkenal dan mengajak sang kakak pergi. Anggara mengambil tas berwarna coklat
dan mengalungkannya ke badannya.
“Penerbangan
dengan pesawat ini pada 23 Desember 2005 pukul 10 waktu german akan segera
berangkat. Para penumpang silahkan menggunakan sabuk pengaman. Waktu
penerbangan kita kurang lebih jam menuju Indonesia”. Sang pramugari berdiri di
depan semua orang sambil tersenyum, ia mengatakan kalimat tadi dengan dua
bahasa, bahasa german dan bahasa indonesia.
Kirana
mendapat kursi tepat disamping jendela. Matanya masih tetap mencari, berharap
meskipun sudah tak mungkin. Anggara kemudian duduk disampingnya setelah
membereskan barangnya. “waah, du hast einen guten Platz, meiner Schwester (waah,
kamu dapet tempat duduk yang bagus, adikku)” sambil menempelkan headphone ke
telinga dan memejamkan matanya. Kirana hanya tersenyum mendengar anggara dan
kembali memperhatikan luar jendela pesawat. Ia mengenakan seat belt, mematikan
Smartphone nya, dan melakukan hal yang sama dengan kakaknya. Ya, dia takkan datang meski aku mencoba
mengulur waktu. Dia tak datang. Selamat tinggal German. Dan pesawat pun
mengudara meninggalkan german bersama kenangan yang ada.
ÜÜÜÜ
Kamar
itu gelap, hanya diterangi cahaya yang masuk dari jendela kaca yang tertutup
rapat. Udara dalam ruangan itu berasal dari pendingin ruangan dengan suhu 35⁰ C. kaca kaca jendela terlihat
tak berembun lagi, padahal diluar sana udara berbanding terbalik dengan didalam
ruangan. Salju sedang turun deras. Mereka bagai butiran debu yang jatuh dari
langit, perlahan namun pasti menghujani salah satu Negara di bagian belahan
dunia yang memiliki 4 musim.
Hans
baru membuka matanya, ketika ia mencoba bergerak ia merasa seluruh badannya sakit.
setelah mencoba duduk dan diam, otaknya mulai berpikir keras mengingat kenapa
dan seketika rasa sakit datang membuatnya
mengerang, ia hanya ingat terakhir ia sedang berada di subway kereta bawah
tanah. Ia melihat sekujur tubuhnya penuh dengan luka. Ia mengerang sakit ketika
memegang kaki kanannya.
Seorang
pria yang tengah terlelap tidur di sofa seberang tempat tidur langsung bangun
dan menghampiri Hans. “kau seharusnya tak bangun Hans, kau belum bisa begini”
refleks John membetulkan posisi Hans dan duduk di kursi samping ranjang. “apa
yang terjadi? Kenapa aku disini?” Hans memegang kepala dengan tangan kanannya.
“apa harus kuceritakan ketika kau sedang begini. Apa kau tak ingat apa – apa
soal malam itu? apa kepalamu sakit?” John memperhatikan Hans sedang mengerang.
“Dokter! Suster!” John berteriak dalam bahasa german sambil berjalan ke luar ruangan. Sekelebat
bayangan tentang malam itu kemudian terlintas dan membuat Hans berhenti
berpikir. Ia ingat apa yang terjadi malam itu.
Hans
memandangi jendela, ia baru sadar ternyata ia berada di rumah sakit setelah
sang paman menyalakan lampu, ia melihat tangan kirinya terpasang infus NaCl. Sudah berapa lama aku disini?. Hans
melihat dirinya yang saat itu terbalut pakaian pasien rumah sakit. di depan
ranjang ada sebuah televise, ia ingin menonton tapi tak dapat menemukan dimana
remot tv. Ia mengedarkan pandangannya dan melihat remote di atas meja tak jauh
dari tempat tidurnya, ketika ia baru saja akan beranjak dari tempat tidur,
dokter, suster, dan pamannya itu masuk ke kamar.