Kenapa Pasar Tradisional?

Ini cerita di hari minggu pagi, hari pertama shaum di bulan suci Ramadhan 1435 H.

Pagi ini aku bersama ibu dan teh resti pergi ke pasar tradisional, ini bukan kali pertama aku pergi kesana bersama ibu. Sejak kecil ibu sudah sering membawaku kesana, meskipun tidak begitu lama karena harus membawa aku dan kakak yang masih kecil dan rasanya aku hanya mengeluh menangis tanpa ingat betul kenapa aku begitu.
Ada banyak pertanyaan di dalam benakku, kenapa harus ke pasar tradisional? Supermarket sudah beredar luas di Sukabumi, dan setiap belanja bulanan keluarga ku selalu pergi ke supermarket besar. Tapi untuk kebutuhan makan setiap hari, ibu selalu minta teh resti untuk pergi ke pasar.
Jujur, menurutku pasar tradisional di Sukabumi bukan tempat yang menyenangkan untuk dikunjungi, kurangnya penataan tempat serta perhatian terhadap kebersihan membuatku hanya senang berjalan – jalan di luar pasar dan sangat menghindari bagian kotor dari pasar.
Di sepanjang jalan aku mengeluh (sebelum mulai membeli barang), kenapa nggak beli di supermarket X aja yang kita biasa belanja disana? Sama aja kan harganya. Aku mulai rewel ngomel ngomel (di dalam hati) karena melihat hiruk pikuk pasar yang semrawut (jalan yang cukup besar sudah dikurangi oleh pedagang dan sisa jalanan untuk pejalan kaki tetap diambil jatahnya oleh sepeda motor atau becak), setiap kali jalan aku memegang tangan bunda, selain aku takut “kecium” motor, aku juga takut alat penyambung pembuluh darah di tangan kiri bunda terpegang atau terpukul atau mengenai sesuatu yang keras.
Aku senang menemani bunda ke pasar, waktu yang cukup langka karena aku harus hijrah ke daerah tangerang selatan untuk kuliah dan hanya waktu libur aku dirumah bisa bersama keluarga. Tapi ke pasar masih jadi hal yang kurang diinginkan untuk dilakukan. Aku lebih suka belanja di warung mbak depan rumah yang menjual berbagai macam sayur dan lauk seperti di pasar (mungkin harganya lebih mahal sedikit dari harga rata-rata pasar, tapi inflasinya tidak sampai 10% aku rasa).
Kemudian ketika kami sampai di tempat daging setelah melewatkan Toko Hai, toko bahan kue langganan sejak jaman eyang, barulah aku sadar.
Di pasar, berbagai kalangan bertemu (kecuali high class economic peoples or more higher than that) saling berinteraksi, ada proses jual beli, antara pedagang dengan mayoritas ibu rumah tangga, ada silaturahmi karena pelanggan tetap datang ke toko atau lapak si penjual, ada interaksi antara sesama manusia, rasa saling memahami ketika si ibu mati – matian meminta diskon (potongan harga) namun pedagang tetap kukuh dengan harga dagangannya hingga didapatkan satu titik dimana keduanya merasa “aman dan nyaman” dalam transaksinya dan diterima dengan lapang dada (hm, semoga setiap penjual dan pembeli begitu, hehe).
Satu percakapan yang biasanya keluar ketika membeli bahan makanan, “kanggo naon bu?” atau bahasa indonesianya “mau dijadiin apa (bahannya)? Atau mau masak apa bu sama itu (bahannya)?”. Dan kemudian terjadi percakapan antara kedua ibu ini tentang menu masakan mereka, bahkan kadang sampai bisa bertukar resep dan la la la.
Di jalan aku bertanya, kok bisa orang – orang tahan masuk pasar? Atau kok bisa penjual disini betah dengan kondisi udara yang minim untuk setiap orang? Hm..
Jawabannya adalah adaptasi dan alasan. Adaptasi, sama seperti aku yang jarang ke pasar, masih harus membiasakan diri dengan kondisi lingkungan pasar yang seperti aku bilang di atas. Jadi ya terus harus adaptasi, apalagi aku bakal jadi seorang ibu rumah tangga yang pastinya harus bisa ke pasar. hehe
alasan nya beragam, kebutuhan terutama. pedagang butuh pelanggan dan sebaliknya.

Hidup ini indah jika kita selalu melihat sisi positifnya.
Belajar untuk lebih baik lagi. :)

Postingan populer dari blog ini

Dewasa itu?

Bimbang

no title ! =D